Walau digempur berbagai pengaruh internasional, masakan tradisional Bali mencari tempatnya tersendiri di khazanah kuliner Pulau Dewata.
Pariwisata Bali terkenal dengan harmonisasi antara sisi modern dengan tradisi lokal. Tri Hita Karana yang merupakan hakikat hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia lainnya, serta manusia dengan alam sekitarnya adalah landasan pembangunan Bali yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Bali sejak tahun 1969.
“Hal ini menjadi pedoman bagi pelaku pariwisata Tanah Dewata dan tercermin pula pada makanan tradisionalnya,” kata Chef Henry Bloem, Executive Chef Patra Jasa Hotel Bali dan pemilik Bloem’s Warung.
Henry Bloem turut mengatakan bahwa berbagai event kuliner Bali seperti Dewata Culinary Challenge, Denpasar Festival, dan lain-lain mengangkat falsafah Tri Hita Karana di dalamnya. Sistem penjurian dalam kompetisi masak ini berpegang teguh pada falsafah ini.
“Peserta berusaha mempertahankan tradisi makanan tradisional Bali dari memasak menggunakan peralatan tanah liat hingga menanam dapur hidup di pekarangan hotel dan restoran,” kata Bloem.
Menurut Bloem, acara ini mampu mengangkat minat para chef untuk melestarikan kembali makanan tradisional Bali. Banyak makanan tempo dulu khas Bali yang mulai dikenalkan kembali ke masyarakat luas di acara ini. Sayangnya, kurangnya publikasi membuat acara ini kurang diketahui masyarakat di luar Bali. Pamor makanan tersebut pun masih jauh dari menyamai pamor makanan Bali yang sudah terkenal lebih dahulu.
Kembali ke Makanan Lampau
Pelestarian makanan Bali tidak didasarkan pada kurang populernya makanan Bali selama ini. Pasalnya masyarakat Indonesia tentu sudah akrab dengan masakan Bali populer seperti sate lilit, ayam betutu, dan sambal matah. Usaha pelestarian ini sendiri berkonsentrasi pada cara mempopulerkan makanan Bali lainnya yang sesungguhnya cakupannya jauh lebih luas.
“Misalnya, orang umumnya hanya tahu masakan Bali itu dasarnya Base Genep, padahal ada banyak jenis bumbu lainnya. Misalnya Base Wangen, Base Kele, Sambel Embeul, Sune Cekuh, dan banyak lagi,” kata Bloem.
Walaupun cukup kesulitan, Chef Bloem tetap berusaha untuk kembali mempopulerkan makanan bali yang menggunakan resep tempo dulu. Salah satunya adalah membuka restoran yang hanya menjual makanan Bali khas tempo dulu. Restoran miliknya ini bernama Bloem’s Waroeng.
Bloem melihat bahwa kini banyak makanan yang merupakan makanan ibu khas Bali seperti lawar berbumbu Base Wangen, gurita berbumbu Sune Cekuh, dan lain-lain, kini sudah sulit ditemui di Bali sendiri. Dengan restorannya tersebut, Bloem berharap akan lebih banyak chef Bali yang mengangkat kuliner asli kampung halamannya sendiri.
“Mempopulerkan masakan Bali jaman dulu ke luar Bali memang butuh waktu. Salah satu alasannya bisa jadi karena bumbu-bumbu yang dipakai banyak yang hanya populer di Bali. Tapi kalau sampai orang Balinya sendiri tidak mau melestarikan dan justru bangga mengikuti budaya asing saja, sayang sekali kebarat-baratan sampai kebirit-birit,” kata Chef Bloem.
Rempah Unik Khas Bali
Berbicara mengenai bumbu khas Bali tak bisa lepas dari jenis rempah-rempahnya yang unik. Bumbu khas Bali kerap menggunakan bahan-bahan yang di luar Bali tidak lazim digunakan sebagai bumbu.
Salah bumbu yang berbahan rempah khas Bali adalah base wangen. Di dalam base wangen, terdapat lima jenis rempah khas Bali, yaitu kemenyan, jangu, cabe puyang, mesui, dan bangle. Rempah-rempah tersebut tumbuh pula di luar Bali. Akan tetapi, mereka dikenal bukan sebagai bumbu masakan melainkan sebagai alat ritual, bagian dari perlengkapan sembahyang, wewangian, hingga jamu.
“Misalnya, bangle. Bumbu ini sebenarnya tidak hanya ada di Bali. Di berbagai daerah di Indonesia, bangle juga dipakai dalam keperluan sehari-hari. Hanya saja fungsinya bukan sebagai bumbu, melainkan sebagai alat ritual tradisi dan untuk jamu,” kata Bloem yang kerap memakai bumbu ini untuk memberikan rasa khusus pada sate lilit.
Bangle. (Photo Courtesy of Henry Alexie Bloem)
Sama halnya dengan kemenyan, bumbu ini juga lebih kita kenal sebagai alat ibadah atau ritual. Akan tetapi, ada catatan khusus untuk bumbu ini. Kemenyan yang dipakai untuk memasak ternyata berbeda jenis dengan kemenyan yang dipakai untuk sembahyang. Kemenyan masak memiliki bentuk seperti karang kasar berwarna hitam keabuan dengan bagian luar yang halus berwarna putih kekuningan.
Kemenyan. (Photo Coutesy of Henry Alexie Bloem)
“Jika membeli di pasar, kita bisa bilang ke penjualnya kalau kita membeli kemenyan untuk bumbu. Selain itu, di pasar sering dijual rempah-rempah bumbu Base Wangen yang belum dihaluskan dalam bentuk paketan. Di dalamnya sudah terdapat kemenyan bumbu ini,” kata Bloem.
Jangu. (Photo Courtesy of Henry Alexie Bloem)
Bumbu unik yang juga digunakan dalam membuat base wangen adalah jangu. Ini merupakan sejenis tanaman rumput-rumputan dengan aroma manis berempah yang sangat unik. Bentuk tanaman ini seperti rumput-rumputan. Bagian yang dipakai dalam jangu adalah rimpangnya.
Base wangen juga menggunakan bumbu yang bersaudara dengan kayu manis. Nama rempah ini adalah mesui atau mesoyi. Masyarakat Jawa memakai bumbu ini sebagai campuran ratus wangi. Seperti saudaranya, kayu manis, mesui memiliki aroma yang unik dan menyerupai bau jamu-jamuan.
Mesui. (Photo Courtesy of Henry Alexie Bloem)
Untuk menambah rasa pedas yang khas, masakan Bali kerap menggunakan tabia bun atau cabe puyang. Walaupun berbentuk panjang menyerupai cabe, tabia bun ini merupakan keluarga dari lada dan masih termasuk ke dalam sirih-sirihan. Rasa cabe puyang sendiri khas karena memiliki rasa pedas dan getir namun sedikit manis dengan aroma yang tajam.
“Paduan dari bumbu-bumbu inilah yang membuat rasa masakan Bali khas serta memiliki aroma yang sedap. Pesan saya kepada chef-chef yang hendak melestarikan makanan Bali, teruslah belajar dan gali kekayaan kuliner sendiri. Jangan sampai ilmunya berhenti di makanan Bali yang sudah terkenal saja,” kata Bloem menutup pembicaraan.
Tags: makanan bali, henry alexie bloem, rempah bali, kemenyan, mesui, jangu, bangle, tabia bun, base wangen, lawar, suna cekuh, tri hita karana